Rabu, 15 Desember 2010

Ajak Siswa Menikmati Sastra

Ajak Siswa Menikmati Sastra!
Oleh: Habib Adnan P.

Pengajaran dan pembelajaran bahasa dan sastra, sebagai bagian dari produk budaya, dalam dunia pendidikan memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial dan emosional peserta didik dan merupakan pintu utama untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu yang lain. Hal tersebut dikarenakan materi sastra sangat erat kaitannya dengan unsur-unsur kesusastraan, keindahan bahasa, keanggunan ekspresi, kesederhanaan ungkapan, kedalaman makna, muatan humor, ungkapan bahasa sehari-hari, nilai-nilai kemanusiaan dan juga muatan budaya yang sangat bernilai pendidikan dan dan bisa meningkatkan wawasan serta cakrawala peserta didik.
Selama ini, para pengajar dan peminat sastra pada umumnya menganggap bahwa pengajaran kesusastraan di dunia pendidikan memang kurang memuaskan. Peningkatan dan pembaharuan perlu dilaksanakan sehingga kita tidak lagi menghasilkan siswa yang memahami bahasa (sastra) secara “hampa”. Istilah ini muncul karena sebagian besar anak didik kita tahu banyak tentang materi bahasa dan sastra tetapi “kering” akan nilai kesusastraan yang terkandung di dalamnya.
Ranah afektif berbahasa yang menyangkut rasa, karsa, intuisi atau juga sensitifitas kebahasaan tidak bisa mereka nikmati. Hal inilah yang kemudian disebut oleh seorang pakar bahasa sebagai ‘the untrodden ways’, yakni pengabaian aspek kesusastraan yang mengakibatkan hilangnya unsur kesusastraan dalam bahasa (Brumfit, 1987: 133). Akibatnya, mereka tidak bisa menikmati dan memiliki perasaan serta pikiran kritis terhadap nilai-nilai keindahan, kemasyarakatan, beserta kehidupan sekitarnya.
Dari permasalahan di atas (ketidakmampuan siswa untuk menikmati sastra) bisa disimpulkan bahwa faktor utama dari tidak hadirnya ranah kesusastraan dalam pengetahuan bahasa siswa adalah kurangnya apresiasi sastra. Apresiasi sastra pada dasarnya adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra (Effendi, 2002: 6). Akan tetapi perlu juga kita pahami bahwa menikmati sastra lewat sebuah apresiasi pada dasarnya tidak terhenti pada definisi apresiasi sastra itu sendiri. Hal itu disebabkan karena tidak semua definisi bisa menggambarkan pengertian sesuatu sebagai perilaku yang konkret. Padahal, kekonkretan apresiasi sastra akan lebih mudah dipahami daripada sebuah definisi.
Sebagai contohnya adalah perilaku anak kecil yang sedang belajar berbicara, dia dengan sangat asyik bercakap-cakap dengan bonekanya. Atau contoh lain ketika dia bermain mobil-mobilan dengan menirukan derum suara mobil yang pernah didengarnya. Kedua perilaku tadi sangat mirip dengan perilaku yang diperlihatkan dalam karya sastra, tidak berpura-pura, tetapi sewajarnya, tidak sembunyi-sembunyi tetapi terus terang, tidak bermuka dua, tetapi jujur, tidak diam tetapi aktif menciptakan hal-hal yang baru dengan sungguh-sungguh, penuh fantasi dan imajinasi (daya bayang).
Demikianlah seyogyanya kita mengajarkan sastra kepada anak didik kita. Mereka harus kita ajak menikmati karya sastra dengan mengevaluasi apakah anak didik kita sudah bisa melakukan apresiasi, memperoleh kesadaran, kesenangan dengan pengajaran dan pembelajaran sastra yang mereka lakukan. Seorang anak yang memiliki kemampuan ini biasanya peka pikiran kritisnya dan peka perasaannya. Artinya, ia akan mudah tersentuh, tertarik, terpikat oleh cipta sastra dengan pikiran yang kritis dan perasaan yang baik. Ia gemar membaca sajak, cerita, dan drama, gemar membicarakannya, gemar mendengar sajak dideklamasikan atau cerita dibacakan atau menyaksikan drama yang dipentaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar