Rabu, 15 Desember 2010

TERBUKA TERHADAP APRESIASI SASTRA

Tujuan dari pengajaran dan pembelajaran bahasa dalam dunia pendidikan adalah untuk mengembangkan kemampuan atau kompetensi komunikatif (communicative competence). Selain itu, pengajaran dan pembelajaran bahasa juga dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman peserta didik akan keterkaitan bahasa dan budaya, yang dalam hal ini erat kaitannya dengan kemampuan atau kompetensi kesusastraan (literary competence).
Pada kenyataannya, proses pengajaran dan pembelajaran bahasa kita secara umum, baik Bahasa Indonesia ataupun bahasa asing (Arab, Inggris, dan yang lain), belum bisa meletakkan kedua kompetensi bahasa (communicative dan litetary) tersebut secara proporsional. Proses pengajaran dan pembelajaran yang dilakukan masih teralienasi atau terasingkan dari sentuhan pengenalan budaya, atau lebih khususnya karya sastra. Hal ini terjadi karena sebagian besar dari proses pengajaran dan pembelajaran bahasa mengabaikan atau bahkan memutuskan interaksi dan hubungannya dengan materi yang bernuansa sastra. Padahal sesungguhnya berbagai bentuk kesusastraan pada hakekatnya adalah bagian dari aspek bahasa yang sudah semestinya dipelajari bersamaan dengan aspek-aspek kebahasaan dan jenis keterapilan berbahasa yang lain.
Bukti nyata dari permasalahan di atas bisa kita lihat pada penerapan kurikulum pengajaran dan pembelajaran bahasa dalam dunia pendidikan saat ini. Kurikulum pelajaran bahasa yang ada, lebih menekankan pada tuntutan agar siswa menguasai unsur-unsur bahasa dengan mengabaikan aspek budayanya, termasuk sastra. Maka tidaklah aneh jika kompetensi dasar (KD) ataupun juga standar kompetensi (SK) yang harus dikuasai siswa lebih mengedepankan fungsi bahasa sebagai alat berkomunikasi baik secara lisan ataupun tertulis. Kemampuan berkomunikasi dalam pengertiannya sebagai kemampuan berwacana, yakni memahami dan menghasilkan teks lisan atau tertulis yang direalisasikan dalam empat keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis). Selain itu, kurikulum juga lebih menekankan pada tuntutan siswa untuk menguasai unsur-unsur bahasa seperti: kosakata, struktur dan pola kalimat, pelafalan, intonasi dan sebagainya.
Melihat kenyataan seperti yang telah disebutkan itu di atas, sesungguhnya mudah dilacak ke sumbernya karena akar permasalahan yang sebenarnya adalah kebijakan pemerintah. Dalam hal ini pemerintah diwakili oleh penyusun kurikulum yang didominasi oleh para pakar linguistik (linguist), dan barangkali tidak melibatkan pakar sastra dan budaya serta para pakar lain dari berbagai disiplin ilmu yang semestinya dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Akibat dari model kurikulum seperti yang dirumuskan di atas adalah tumbuh suburnya aspek kognitif atau penalaran yang berpeluang besar untuk terus merebak dan mekar. Sedangkan ranah afektif yang menyangkut rasa, karsa, intuisi atau juga sensitifitas kebahasaan yang lain tidak memiliki peluang untuk berkembang. Padahal sudah seharusnya, sebagaimana tujuan awal dari proses pengajaran dan pembelajaran bahasa, antara kemampuan komunikatif (communicaative competence) yang termasuk pada ranah kognitif dan kemampuan kesusastraan (literary competence) harus betul-betul disampaikan secara seimbang. Sudah seharusnya kedua aspek ini tumbuh berkembang selaras di dalam diri anak didik kita. Tetapi sekali lagi, di dalam perjalanan waktu yang panjang, aspek afektif seringkali dikorbankan. Unsur-unsur kesusastraan, keindahan bahasa, keanggunan ekspresi, kesederhanaan ungkapan, kedalaman makna, muatan humor, ungkapan bahasa sehari-hari, nilai-nilai kemanusiaan tetapi juga muatan budaya yang sangat bernilai pendidikan dan peningkatan wawasan semestinya ikut diajarkan di dalam upaya menangkap “semangat dan rasa” dalam berbahasa (Siswantoro, 2002: vii).
Satu hal yang harus diingat oleh para perumus kurikulum, jika mereka mengabaikan atau mungkin alpa dalam mengambil keputusaan adalah tidak dipertimbangkannya secara sungguh-sungguh keberadaan sastra dalam bahasa. Selagi aspek kesusastraan yang merupakan bagian dari bahasa tidak dihadirkan secara proporsional di dunia Pendidikan kita, maka boleh jadi kita tidak akan bisa mendapatkan hasil yang maksimal dari proses pengajaran dan pembelajaran bahasa yang kita harapkan.
Pengirim: Habib Adnan Prihatin
Peminat dan Pemerhati Sastra Pendidikan
Pengajar di SMP Islam Terpadu Nur Hidayah Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar